Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Senin, 07 Januari 2013

Catatan Ekspedisi Pendakian Gunung Dempo (#Bagian 1)


EKSPEDISI PENDAKIAN DEMPO (#Bagian 1)

Ketika mengenang ghaffar-Mu, putus asa tiada lagi
Semangatku pulih semula, harapanku subur kembali
Ujian menimpa menekan di jiwa, tak sanggup meneruskan perjuanganku
Mehnah-Mu itu penghapus dosaku, mengganti hukuman-Mu di akherat


Prolog

Saat menuliskan catatan perjalanan ini, saya menemukan lirik nasyid yang pas mengiringi apa yang saya rasakan, sejak memulai pendakian kemarin, di dalam tapak-tapak perjalanannya, hingga ketika pendakian itu usai. Nasyid Harapanku Subur Kembali-nya Nazrey Johani yang salah satu baitnya saya kutip di atas.

Tidak banyak orang yang mengerti, atau mau mengerti, mengapa seseorang atau orang-orang lain di sekitarnya menyukai aktivitas naik gunung. Pun hingga berbuih-buihlah kita menceritakan, niscaya belum dapat dipastikan ia akan mengerti atau mendukung kita. Mendaki bagi beberapa orang tertentu, terkadang, memang harus dirasakan sendiri, bukan dijelaskan tentang apa, mengapa dan bagaimana.

Saya pernah mendengar suatu kisah tentang seorang anak lelaki asal Palembang yang sedang kuliah di pulau Jawa. Ia ketularan virus mendaki gunung dari teman-temannya di sana. Beberapa gunung di Jawa ia daki bersama teman-temannya itu. Saat liburan datang, ia bermaksud pulang dan meminta izin pada ayahnya supaya memperbolehkan ia, saudara lelakinya, dan temannya, untuk mendaki gunung Dempo yang masih terletak dalam wilayah provinsi Sumsel. Ayahnya tidak setuju. Anaknya membujuk dengan sungguh-sungguh. Ketika si anak hampir putus asa, akhirnya si Ayah berkata, “ Ya sudah, kalian boleh mendaki, dengan syarat, Ayah ikut bersama kalian untuk memantau.”

Tentu saja anak-anak bergembira menyambut ide itu. Maka mereka pun berangkat menuju Pagaralam, setelah segala perlengkapan disediakan. Pendakian dimulai. Perjuangan susah senang dan kebersamaan dalam segala rintangan dan keterbatasan dirasakan. Sampai akhirnya pendakian berakhir sukses. Sejak saat itu, sang Ayah mengerti dengan sendirinya, mengapa anaknya suka naik gunung.


Akhir Tahun 2012

Tentu bukan untuk merayakan pergantian tahun Masehi, tapi hanya karena kebetulan kami ada waktu kosong yang bersamaan, maka ide untuk mendaki gunung Dempo ini pun tercetus oleh saya. Kami pun segera membentuk tim, siapa saja yang akan kami ajak, siapa koordinator lapangan di sana nanti, serta segala persiapan peralatan dan stamina. 

Ahad 30 Desember 2012, kami berangkat dari Palembang ke Pagaralam dari Terminal Karya Jaya dengan menumpangi bus ekonomi Melati Indah (Rp.40.000), berangkat jam delapan kurang.

Alhamdulillah, perkiraan macet yang sempat kami khawatirkan tidak terjadi. Perjalanan berlangsung lancar jayaa. Jam 15.30 kami tiba di kota Pagaralam, langsung menuju rumah seorang rekan tempat kami menginap dan mempersiapkan pendakian.

Sayangnya, kabar-kabar yang mencemaskan mulai berembus ke telinga kami: mulai dari cerita tentang jalur pendakian yang dipastikan sangat berbahaya karena musim hujan, badai yang terus terjadi di gunung beberapa minggu terakhir, sampai ada yang menasihati kami untuk membatalkan pendakian saja. Ditambah lagi beberapa warning mistis yang hampir membuat saya emosi jiwa. Bagaimana tidak, sungguh tidak patut menyebarkan hal semacam itu di saat kami belum mendaki. Seolah kami adalah anak kecil yang tidak paham bahwa setiap gunung mengandung misteri masing-masing. Dan lagi, ini bukan pertama kali kok saya pergi mendaki. Teman-teman akhwat sudah saya siapkan mentalnya, sudah saya kasih tahu apa-apa yang harus mereka jaga. Jadi, mereka bukannya buta sama sekali tentang gunung. Akan tetapi, karena khawatir sanggahan saya akan dikira kesombongan, maka saya biarkan saja, dan tetap menenangkan teman-teman akhwat. Kami sudah jauh-jauh ke sini. Tidak akan kami melangkah mundur. Kami meminta supaya hujan tidak turun saat kami mendaki, jikapun ia turun, semoga tidak membuat kami kesulitan. Kami ingin melihat kawah di puncak. Itu saja yang sungguh-sungguh kami minta kepada Yang Maha Mengatur Segalanya.

Senin 31 Desember 2012, kami keluar rumah ba’da Subuh, mampir sebentar di warung nasi uduk dan lontong untuk mengisi perut, lalu memborong semua lontong yang dibuat si ibu setengah baya. Nambah-nambahin bekal makan siang di gunung nanti, jaga-jaga kemungkinan seandainya kondisi menyebabkan kami tidak sempat atau tidak bisa masak.

Tim kami terdiri dari 14 orang; 7 laki-laki dan 7 perempuan, gabungan Palembang dan Pagaralam. Perjalanan dimulai dengan menggunakan mobil pick up menuju gerbang jalur pendakian. Pemandangan luar biasa indah menyambut kami. Kebun teh menghampar hijau sejauh mata memandang. Jalan aspal berkelok-kelok menuju ketinggian. Pemandangan kota yang makin terlihat jauh. Udara dingin mulai memeluk kami. Jaket dirapatkan. Tapi kami tahu, dingin ini belum ada apa-apanya sama sekali dibanding suhu di atas gunung nanti.

Jam setengah sembilan, kami tiba di pos lapor pendakian. Di sinilah letak gerbang pendakian Jalur Rimau, yang ditandai dengan adanya Tugu Rimau (simbolisasi Harimau Sumatera). Sampai di sini, saya masih belum sadar bahwa pendakian kami ternyata dimulai bukan dari Pintu Rimba, seperti yang saya pahami sebelumnya tentang Dempo.

Kami berdoa bersama dipimpin salah seorang pak tua di pos lapor—doa yang sebagian kecilnya aneh menurut saya, karena diubah-ubah di beberapa bagian tertentu oleh si bapak sehingga artinya menjadi lain (lagi-lagi menurut pemahaman saya), dan karena itu saya hanya mengaminkan di bagian tertentu saja, dan lebih fokus pada doa saya sendiri saja.


Trek ABRI

Tepat jam 9, pendakian dimulai. Sudah terlihat dari tanah di sekitar tugu Rimau, bahwa trek yang akan kami tempuh kondisinya basah bekas hujan. Saya sudah mengetahui bahwa trek gunung ini menanjak terus, dengan jalan setapak penuh akar, dan tinggi tanjakan mulai setengah dengkul sampai puluhan meter. Tapi ternyata, begitu trek tersebut nyata hadir di depan mata, tetap saja saya masih tercengang. Trek Rimau ini seperti menaiki tangga yang tidak pernah selesai. Terus naik dan naik terus. Tidak ada tanah landai. Dan jangan harap ada turunan.

Shelter 1 pun mengejutkan saya. Saya mengira seperti di gunung-gunung di Jawa, yang namanya shelter atau pos adalah tanah rata tempat para pendaki bisa duduk santai sejenak, dan terdapat pondokan kecil tanpa dinding. Shelter 1 jalur Rimau ini, ternyata, hanya tanah tak rata dengan ukuran yang tak simetris, dan tentu saja tanpa pondokan.

Perjalanan berlanjut, menuju shelter 1 b dan shelter 2. Dari tadi sebenarnya saya menanti-nanti munculnya Tanjakan Dinding Lemari. Sebuah tanjakan tegak lurus setinggi 4 meter yang hanya bisa dilewati dengan bergelantung pada akar atau memanjat tali. Tapi yang muncul melulu tanjakan-tanjakan setengah dengkul, sedengkul, sepinggang, sedada, yang memang tak ada habisnya. Semua tanjakan ini dilewati dengan berpegangan pada akar dan batang pohon.

Kami hitung-hitung, ternyata ada 4 tanjakan terpanjang yang mesti dilewati dengan tali. Trek tali pertama (paling bawah) panjangnya hanya sekitar 5 meter, bentuknya agak bengkok. Trek tali kedua sekitar 15 meteran, dengan kemiringan sekitar 45 derajat dan merupakan tanjakan yang tidak bengkok, serta pijakannya cukup jelas. Trek tali terpanjang adalah trek tali yang ketiga: lurus, dengan ceruk-ceruk tanah yang sangat jelas sebagai pijakan kaki kiri dan kanan. Panjang tanjakan ini mencapai 19 meter.

Bagaimana dengan trek tali keempat? Nah, walaupun panjangnya hanya sekitar 12 meter, tapi trek tali yang terakhir (paling atas) ini adalah empunya trek tali. Sudahlah tanjakannya bengkok patah ke kanan atas, tanahnya licin tiada tara, pegangan berupa akar-akar di kiri kanan tanjakan tidak cukup meyakinkan untuk bisa membantu, serta pijakannya pun tidak jelas! Luar biasa…. Trek tali keempat inilah yang membuat saya mati gaya alang-kepalang. Tapi alhamdulillah berhasil dilewati juga dengan cukup menyedihkan dan menciptakan luka di pergelangan tangan saya. Hehe.

Sudah tidak ada lagi pakaian yang bersih melekat di tubuh kami. Semuanya kotor oleh tanah. Sempat ada teman yang terjatuh dari trek tali dan jarinya bengkak. Lainnya, lecet-lecet di ujung-ujung jari karena selalu berinteraksi dengan akar dan batang pohon.

Melampaui antara trek tali yang satu ke trek tali yang lain, barulah saya sadar, Jalur Rimau bukanlah Jalur Rimba. Mereka adalah dua jalur yang berbeda. Tanjakan Dinding Lemari pantas saja tidak saya temui di sini. Sebagai gantinya, inilah dia empat trek tali yang luar biasa. Lebih dahsyat.

Ternyata pula, berdasar cerita teman-teman yang orang sana, jalur Rimau ini memang terhitung trek baru. Dulu biasanya para pendaki menempuh jalur dari pintu Rimba. Jalur itu lebih jauh dan panjang, serta tidak semuanya terjal. Sekarang, sudah sedikit yang melewati Jalur Rimba, karena pintu tugu Rimau memang lebih mudah dicapai daripada pintu Rimba.

Jalur Rimau awalnya dibuka oleh Brimob, dan dikhususkan untuk ujian tentara. Mereka diberi waktu 3 jam untuk melewati trek. Jika para tentara berhasil melewati trek jalur Rimau ini dalam waktu 3 jam, maka mereka lulus ujian.

Lalu bagaimana dengan kami? Apakah berhasil? Dan berapa lama? Hehehe.


Shelter 2 – Taman Bunga

Kalau tidak salah, trek tali ketiga dan keempat ditemui setelah lewat dari shelter 2. Shelter 2 ini kondisinya lebih mengagetkan saya. Tanah di shelter 2 malah miring. Sebenarnya ia lebih tepat dikatakan sebagai tanjakan yang lebar dan luas, bukan shelter. Saat berada di sini, kita bisa kebingungan mau duduk di mana, karena semuanya miring, semuanya berbahaya (setidaknya menurut saya sebagai perempuan). Terus, kalau sudah tahu mau duduk di mana, jangan lupa berpegangan atau bersandar pada pohon supaya tidak jatuh, kecuali bagi yang sudah terbiasa.

Ketinggian tanah yang kami pijak mulai mencapai dua ribu delapan ratusan meter dari atas permukaan laut. Jalan setapak yang kami lewati setelah shelter 2 dan sebelum trek tali ke-empat adalah tempat yang paling indah sepanjang jalur naik ini. Jalan setapak tersebut berada di pinggir tebing. Sebelah kiri kami adalah jurang, dan andaikata cuaca tidak tertutup kabut setebal ini, niscaya kami bisa melihat pemandangan yang indah di bawah sana, hanya terbatasi oleh rerimbunan tanaman hutan sub alpin. Udara dingin sekali. Tumbuhan paku yang saya lihat di sini bentuknya makin menyempit, rapat, dan rapi berjajar. Sangat indah. Belum lagi bunga kesayangan saya di pegunungan, yaitu cantigi, bertebaran di sini. Subhanallaah. Terasa mimpi bisa melihat cantigi lagi. Dengan jumlah yang begini banyaknya seperti tak habis-habis. Cantigi yang cantik dan kuat. Cantigi yang tegar dan sangat bermanfaat bagi pendaki. Akan tetapi di Dempo, cantigi biasa disebut sebagai kayu/bunga panjang umur oleh para pendaki dan warga lokal.

Tak ada edelweiss di gunung Dempo ini, memang. Tapi benalu-benalu yang melekati batang-batang cantigi mengingatkan saya pada perjalanan sepanjang Kalimati menuju Arcopodo di jalur gunung Semeru. Bedanya, trek menanjak di sekitaran ‘taman bunga’ ini tidak lagi seekstrem trek sebelumnya yang betul-betul menguras energi dan emosi. Tanah di sini tetap menanjak, tapi dengan ketinggian hanya setengah dengkul, dan berliku-liku. Rasanya seperti bermain di labirin taman bunga, berputar-putar walaupun harus sangat berhati-hati saat melangkah. Sayangnya, saya tetap tidak mengeluarkan kamera DSLR saya. Pertama, karena memang kalau sedang ngetrek, saya tidak akan bisa fokus motret, bahaya buat pijakan saya, dan saya bisa berisiko tertinggal tim pula kalau sibuk motret. Kedua, tangan saya kotor oleh tanah, kasihan kamera saya kalau harus ikutan kotor.

Jadi saya lebih memilih untuk menikmati keberadaan saya di sana dengan mata yang memandangi keindahan rerimbunan paku-pakuan, benalu, dan cantigi. Cantigi atau kayu panjang umur ini adalah tumbuhan berupa batang-batang yang dirimbuni daun-daun kecil yang rapat, di mana makin ke ujung tangkai maka daun-daun itu berwarna merah. Dengan kata lain, pucuknya yang berwana merah, dan inilah yang disebut ‘bunga’nya. Bunga ini konon tidak akan berubah warna setelah dipetik berhari-hari lamanya. Lambat laun setelah itu, barulah ia akan berubah menjadi hitam, namun bentuknya tetap cantik dan tidak berubah.


Puncak Dempo (Puncak II)

Hari sudah sore, dan kami masih berkeliaran di hutan. Puncak sepertinya tidak jauh lagi. Teriakan “Semangat pagiii…” terus mengisi udara. Jam berapa pun sekarang, teriakannya selalu Semangat Pagi. Biar semangat selalu pagi dan baru, bukan sisa-sisa semangat.

Salah seorang teman kami, perempuan, terkena ngantuk yang luar biasa. Dia katakan dia tidak sanggup melangkah lagi saking ngantuknya. Tapi tentu tidak mungkin kami memenuhi keinginannya untuk ditinggalkan saja dan membiarkannya tidur sebentar. Sungguh berbahaya. Udara yang mulai dingin mencekam karena kibasan angin yang kencang mendekati tanah puncak bisa-bisa membuat ia tidur tanpa bisa bangun lagi. Kami mengalami dilema, antara ingin cepat-cepat bertemu tanah rata di puncak supaya bisa shalat jamak, atau menunggui teman kami yang ngantuk dan langkahnya sudah sangat mengkhawatirkan.

Tapi kami tidak bisa memilih satu. Tetap saja kami harus terus melangkah meski semakin lambat, sementara teman kami tersebut terus kami semangati dan kami bantu melangkah. Kami bantu ia makan, minum, dan mencuci wajah dan kedua matanya.

Akhirnya, kami tiba di Puncak Dempo, puncak kedua yang ada di gunung ini. Allahu akbar! Tanah rata, agak luas, dan masih berupa hutan. Pemandangan sekitar tertutup pohon-pohon. Dalam dingin yang menusuk kulit dan menampar-nampar tubuh, kami mendirikan shalat jamak qashar Zuhur dan Ashar di tanah kedua tertinggi di gunung ini. Wudunya dengan tayamum saja. Saat shalat, terasa tubuh hampir terhuyung-huyung diterpa angin.

Legaaa sekali rasanya seusai shalat berjamaah. Perjalanan langsung kami lanjutkan setelah itu. Jaket bertumpuk-tumpuk di tubuh teman kami yang ngantuk dan kedinginan tadi. Angin dingin terus mengejar. Langit sore mulai menggelap menyusul mendung. Titik-titik hujan sempat jatuh, lalu menghilang kembali.

Kami bersicepat menuruni puncak gunung menuju lembah. Tempat kami akan kemping. Lembah itu terletak di antara dua puncak gunung ini, yaitu Puncak Dempo dan Puncak Merapi. Selama perjalanan menuruni Puncak Dempo, sebuah kejutan lain menemui kami.

(to be continued)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar